Mudik adalah bentuk kerinduan manusia untuk kembali kepada yang suci. Kita di ingatkan kembali ihwal kehadiran kita, yaitu kehidupan rumah diamana pertama kalinya melihat dunia. Merenungi saat berada di kandungan ibu. Kandungan disebut pula Rahim. Allah pun di seru dengan sebutan Ya Rahim. Tak salah lagi, Kasih sayang Allah mewujud pada Kasih Sayang (Rahim) ibu.
--EAN--
Mudik yang
sejati itu sesungguhnya ilaihi roji’un
kembali kepada Allah SWT mengambil energi baru agar vitalitas jiwa ini tetap terjaga spiritualitasnya, ya vertikal, ya
horizontal. Namun yang saya rasakan sering kali mudik adalah pemborosan energi,
dan bukan menghimpun energi tersebut. Sederhana saja buktinya. Mudik di zaman
ini tak membuat kerinduan itu terobati jua.
Desa-desa yang
dulu dieja dalam nuansa romantik oleh Ki Dalang sebagai tata tentrem kertorahardjo, gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwo
tinandur, murah kang sarwo tinuku, kini hadir dalam nuansa yang berbeda ke
arah dehumanisasi. Perubahan sosial
yang sangat massif nampaknya telah melanda desa-desa seperti ini. Desa-desa
kini juga masuk dalam “global village”
berkat hadirnya TV, intenet, HP, media massa dst, yang membawa kepada “culture shock”.
Padahal jika
di runut dari Antropologi dan Sosiologi Ilmu bahasa, desa berasal dari
kata paradesa, yang kemudian oleh
pendatang inggris dipakai menjadi paradise
yang secara ilmu bahasa diartikan sebagai surga. Terlepas dari fakta real
sejarah, saya yakin akan kemungkinan kebenarannya. meskipun masih perlu
penilitian lebih jauh untuk pertanggung jawabanya. namun begitu, kenyataanya
desa-desa asli masih akan selalu mewadahi ketentraman surga, karena disana
masih ada kerekatan dan kemesraan satu sama lain antar manusianya.
Singkatnya,
Desa --atau apapun namanya—kini tak lagi
menumbuhkan kesejukan hati , ia sudah masuk dalam perangkap Dajjal dunia (semoga saya salah).
Kerinduan akan nuansa indah masa silam saat saya anak-anak juga kini sirna,
meski sudh bertemu teman-teman sebaya, yang pada tahun 90-an sama-sama main
petak umpet, obak dingin, sluku-sluku
batho, benthik, ngubek blombang, mancing ikan, mandi di kali Tangkis, cari
jangkrik dst. Sungai yang dulu indah pemandanganya ketika saya masih anak-anak,
kini tak terawat lagi. Karena anak-anak sekarang lebih suka main PS, nonton TV, main game online di
laptop ataupun di rental-rental komputer yang kini bak jamur di musim hujan.
Anak-anak
sekarang sudah mandiri, tidak seperti
dahulu jika bermain obak dingin atau benthik harus bersama-sama, guyub, rukun, meski terkadang ada insiden
pertengkaran kecil di antara kami, namun selang tak beberapa lama kami sudah
bermaaf-maafan satu sama lain. Malah kami lantas gotong-royong “memanen”
(kalau tidak boleh dikatakan nyolong)
tebu, ketela, jagung atau semacamnya setelah seharian lelah mandi dikali. Itu
memang tindakan yang kurang baik, namun kenakalan anak-anak seperti itu di
maklumi oleh pemiliknya. Sering kali mereka “hanya” menasihati agar jangan keterlaluan dan merusak tanaman yang kami panen. Selebihnya, memang setelah itu
kami bisa kembali ke watak asli kami yaitu pada malam harinya tetapa rajin
mengaji di mushola, dibaan dan
berjanjenan, dst.
Demikian
juga, meski Lebaran sudah puluhan kali berlangsung puluhan kali, namun jalanan tetap saja
berlobang, atau setidaknya dalam masa perbaiakan, tambal sulam dst. Pemerintah
yang sangat ganas terhadap Terorisme
ternyata dengan calo tiket bus maupun kereta api saja KO. Lebih jauh jalur
tengah pemudik yang menghubungkan antara surabaya dan Madiun atau ke jawa
tengah misalnya, tetap saja menjadi “proyek abadi”, tidak pernah selasai. Tentu
kita tidak boleh Su’dzon: Kalau
jalanan dibuat awet, tentu pejabat berikutnya akan kecut, karena proyek sepi.
Terus
terang saya tidak enak hati menyaksikan realitas ini, sebagai mantan orang Proyek yang sedikit faham
bagaiamana cara membuat kontruksi awet dan biaya minim, juga sekarang mendadak
banting setir menjadi mahasiswa Teknik Sipil yang sehari-hari di didik untuk
pandai membuat jalan, jembatan, gedung bertingkat, dst, dalam kenyataanya
sekarang mendadak “tidak bisa apa-apa”. Apalagi kalau melihat bapak ibu dosen
yang ada di Jurusan saya misalnya
memiliki reputasi nasional bahkan
Internasional, ada yang jadi ketua Sertifikasi jalan se-Jawa Timur, ada yang
pernah menjadi dewan Riset Iternasional mengenai sustainble Development (Pembangunan Berkelanjutan) misalnya.
Padahal kami oarang Teknik semuanya pasti setuju, bahwasanya kami akan di ajari
rumus-rumus yang rumit-rumit sampai
hampir pecah ndase, setidaknya
kepalanya puyeng, yang tujuannya hanya ingin mengabdi kepada bangsa dan negara
dengan menghasilkan karya-karya terbaik di bidangnya.
Saya
juga kadang terheran-heran dengan para praktisi Akademisi yang blusukan
ilmu pengetahuan hingga ke Luar Negeri sehingga kepalanya sampai (maaf) bothak, sampai di tanah air mendadak
seperti orang linglung dan hilang ke-sakti-anya.
Tidak tahu apa yang harus diperbuat untuk memperbaiki carut marutnya sistem
transportasi yang ada saat ini. Apakah ada yang salah dengan Ilmu yang di
pelajarinya? Saya tidak tahu. Apakah ini karena soal yang lain, soal perut atau bagi-bagi proyek –misalnya— ? Saya malah sangat tidak tahu.
Soal
penelitian tentag jalan raya? Jangan tanya lagi. Jika sekarang semua Skripsi tentang jalan raya di kumpulkan
dari Universitas yang ada di malang saja misalya, hasil penelitian itu sudah
setinggi Gunung Semeru. Apakah itu
tentang keawetan tentang kontruksi jalan, ketebalan aspal yang ideal, dst.
Namun juntrungnya juga hanya menumpuk di lemari gudang yang berkedok Perpustakaan bahkan bisa saja ada beberapa
yang dimakan rayap, sementara lebaran tetap saja diwarnai dengan proyek
perbaikan jalan yang tak kunjung selesai, orang jatuh karena terperosok lubang
yang sama. Padahal kata pepatah, keledai
tidak akan terperosok pada lubang yang sama, kecuali kita suka lobang-lobang tertentu saja.
Saya
tidak akan meneruskan asumsi-asumsi
sosial ihwal realitas yang bagi saya menimbulkan banyak pertanyaan. Namun yang paling saya dan kami yang
berhimpun di Ukmi ini Khawatir dan agak cemas adalah apakah bukan mereka saja, termasuk mungkin saya ini orang-orang di-murkai
(semoga saya salah ) Allah SWT? Bukankah dalam Surat Al-Fatehah sudah
jelas kategori orang yang magdlub dan
dholin, yakni orang yang “tahu tapi
tidak mau”, dan orang yang “mau tapi tidak tahu”. Banyak orang yang ber-Ilmu
hebat, mempunyai gelar seabreg¸terlebih
mempunyai kedudukan yang memungkinkan bisa mengakses ke pemerintahan guna
mencoba memperbaiki sistem, namun enggan dan terkesan ogah-ogahan menghasilkan output
sosial yang bermanfaat, yang pada hakikatnya sebagai salah satu inti ajaran
Islam dan diamalkan Rasulullah SAW ketika beliau berada di Madinah.
Akhir kata,
Saya bermohon maaf atas kata-kata saya yang mungkin vulgar, nylekit, ataupun membuat hati ngedumel. Semua itu semata-mata agar kita termasuk saya ini
tergugah untuk setidaknya mencoba ikut memperbaiki meskipun dalam skala kecil
sekalipun. Pada prinsipnya, saya sesunguhnya tidak bisa dan di benarkan meng-klaim bahwa segala yang saya sebut di
atas adalah sebuah kebenaran yang hakiki. Namun jika boleh jujur, setidakanya
saya menangkap isyarat-isyarat dengan me-rasa-kan
semua yang terjadi dan mengimbas dalam kehidupan kemasayarakatan. Namun tak
henti-hentinya saya berdoa kepada sang Pencipta yang Maha Baik itu, bahwa informasi-informasi yang sampai ke saya ini
hanya kesalahan sudut pandang atau pun kesalahfahaman
mungkin dari Ketululan saya sendiri yang melebihi batas menafsirkan suatu keadaan dan peristiwa.
Kalau toh
ini benar adanaya –misalnya—, Saya
dan kami yang Berhimpun di UKMI ini berdoa agar segera Allah SWT memendarkan
Cahaya Hidayah-Nya kepada kita semua. Hingga di Negeri Bocoran Surga ini menjadi Negeri yang di Anugrahi Kemuliaan dan
Barokah yang berlapis-lapis. Sebagaimana dalam Surat Saba’ digambarkanya Kerajaan
Sulaiman di tuliskan dengan Indah dalam salah satu firman-Nya, Baldatun Thayibatun wa Rabbun Ghafur. Amin.
[ ]
Tentang Penulis :
M Nurhadi ; Abdi Ukmi 2013,
aktif di kepengurusan Ukmi 2015-2016,
juga Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil
Unmer Malang.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan