oleh Salim A. Fillah*
"Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji."
*Salim A. Fillah
Telaga itu luas, sebentang Ailah di Syam hingga San’a di
Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi
sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin
dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu.
“Marhabban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”
Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan
gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang
bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan
wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.
Tapi di antara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu ada
rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari
telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan akhlaqnya terasa semerbak. Lalu
dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Rabbi”, serunya sendu,
“Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan
sepeninggalmu!”
Air telaga itu menebar wangi yang lebih harum dari kasturi.
Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari
salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang.
Dengan itulah si lelaki memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka
yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka
jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.
Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman.
Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al Kautsar. Lelaki itu Muhammad.
Namanya terpuji di langit dan bumi.
***
Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam
cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan ke telaga itu, setiap pagi seorang
lelaki berkunjung. Dia berlutut di
tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul di air telaga. Dia memang tampan.
Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan
cambang di wajahnya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit
putihnya.
Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani
menjamah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintainya itu memudar hilang
ditelan riak. Konon, dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak
cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan,
tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema
dan gaung yang hingga kini diistilahkan dengan namanya.
Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan
terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat
hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh dan tenggelam.
Alkisah, di tempat dia terbenam, tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebut
kembang itu, narcissus.
Selesai.
Tetapi Paulo Coelho punya anggitan lain untuk kisah
Narcissus. Dalam karyanyaThe Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada
dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian
Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula
jernih dan tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa kau menangis?”, tanya para peri.
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus”, katanya.
“Oh, tak heranlah kau tangisi dia. Sebab semua penjuru hutan
selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa mentakjubi keindahannya dari
dekat.”
”Oh, indahkah Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahuinya
lebih daripadamu?”, kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut
mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyergap mereka. “Aku menangisi Narcissus”,
kata telaga kemudian, “Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku
menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang
terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku.”
***
Setiap kita punya kecenderungan untuk menjadi Narcissus.
Atau telaganya. Kita mencintai diri ini, menjadikannya pusat bagi segala yang
kita perbuat dan semua yang ingin kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika
manusia menyebut nama kita yang mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia
paling memesona. Kita mengerahkan segala daya agar tiap orang yang bertemu kita
merasa telah berjumpa dengan manusia paling sempurna.
Kisah tentang Narcissus menginsyafkan kita bahwa
setinggi-tinggi nilai yang kita peroleh dari sikap itu adalah ketakmengertian
dari yang jauh dan abainya orang dekat. Kita menuai sikap yang sama dari
sesama, seperti apa yang kita tabur pada mereka. Dari jaraknya, para peri
memang takjub, namun dalam ketidaktahuan. Sementara telaga itu hanya menjadikan
Narcissus sebagai sarana untuk mengagumi bayangannya sendiri. Persis
sebagaimana Narcissus memperlakukannya. Pada dasarnya, tiap-tiap jiwa hanya
takjub pada dirinya.
Tetapi ‘Amr ibn Al ‘Ash merasakan ketiadaan sikap ala
Narcissus pada seorang Muhammad, lelaki yang sesampai di surga pun masih
menjadikan diri pelayan bagi ummatnya. ‘Amr telah belasan tahun menjadikan
silat lidahnya sebagai senjata paling mematikan bagi da’wah Sang Nabi. Lalu
setelah hari Hudaibiyah yang menegangkan itu, hidayah menyapanya. Dia, bersama
Khalid ibn Al Walid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan
keislaman. Mereka disambut senyum Sang Nabi, dilayani bagai saudara yang
dirindukan, dimuliakan begitu rupa.
Bagaimanapun, ‘Amr merasa hanya dirinya yang istimewa. Itu
tampak dari sikap, kata-kata, dan perlakuan Sang Nabi padanya. Hari itu dia
merasa Sang Rasul pastilah mencintainya melebihi siapapun, mengungguli apapun.
Pikirnya, itu disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi
da’wah. Terasa sekali. Maka dia beranikan diri meminta penegasan. “Ya
Rasulallah”, dia berbisik ketika kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi,
“Siapakah yang paling kau cintai?”
Sang Nabi tersenyum. “’Aisyah”, katanya.
“Maksudku”, kata ‘Amr, “Dari kalangan laki-laki.”
“Ayah ‘Aisyah.” Rasulullah terus saja tersenyum padanya.
“Lalu siapa lagi?”
“’Umar.”
“Lalu siapa lagi?”
“’Utsman.” Dan beliau terus tersenyum.
“Setelah itu”, kata ‘Amr berkisah di kemudian hari, “Aku
menghentikan tanyaku. Aku takut namaku akan disebut paling akhir.” ‘Amr
tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad
adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan
paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran
saat ditanya.
Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling
menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang
merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam
ketulusan yang utuh.
***
Di buku ini, Dalam Dekapan Ukhuwah, kita ingin meninggalkan
bayang-bayang Narcissus. Kita ingin kecintaan pada diri berhijrah menjadi cinta
sesama yang melahirkan peradaban cinta. Dari Narcissus yang dongeng, kita
menuju Muhammad yang menyejarah. Pribadi semacam Sang Nabi ini yang akan
menjadi telisik pembelajaran kita. Inilah pribadi pencipta ukhuwah, pribadi
perajut persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi
penyampai kebenaran.
Tak ayal, kita harus memulainya dari satu kata. Iman. Karena
ada tertulis, yang mukmin lah yang bisa bersaudara dengan ukhuwah sejati. Iman
itu pembenaran dalam hati, ikrar dengan lisan, dan amal dengan perbuatan. Kita
faham bahwa yang di hati tersembunyi, lisan bisa berdusta, dan amal bisa
dipura-pura. Maka Allah dan RasulNya telah meletakkan banyak ukuran iman dalam
kualitas hubungan kita dengan sesama. Setidaknya, terjaganya mereka dari
gangguan lisan dan tangan kita. Dan itulah batas terrendah dalam dekapan
ukhuwah.
Dalam dekapan ukhuwah kita menghayati pesan Sang Nabi.
“Jangan kalian saling membenci”, begitu beliau bersabda seperti dicatat Al
Bukhari dalam Shahihnya, “Jangan kalian saling mendengki, dan jangan saling
membelakangi karena permusuhan dalam hati.. Tetapi jadilah hamba-hamba Allah
yang bersaudara..”
Dalam dekapan ukhuwah kita mendaki menuju puncak segala
hubungan, yakni taqwa. Sebab, firmanNya tentang penciptaan insan yang berbangsa
dan bersuku-suku untuk saling mengenal ditutup dengan penegasan bahwa kemuliaan
terletak pada ketaqwaan. Dan ada tertulis, para kekasih di akhirat kelak akan
menjadi seteru satu sama lain, kecuali mereka yang bertaqwa.
Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit.
Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang
untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan
ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani,
sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.
Dalam dekapan ukhuwah, kita akan mengeja makna-makna itu,
menjadikannya bekal untuk menjadi pribadi pencipta ukhuwah, pribadi perajut
persaudaraan, pembawa kedamaian, dan beserta itu semua; pribadi penyampai
kebenaran. Dalam dekapan ukhuwah, kita tinggalkan Narcissus yang dongeng menuju
Muhammad yang mulia dan nyata. Namanya terpuji di langit dan bumi.
***
Ah, tapi jika semua tadi masih terasa sulit dan melangit,
mari kita sederhanakanDalam Dekapan Ukhuwah ini dengan sabda Muhammad
Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam yang menghimbau kita untuk bercermin. Seperti
Narcissus. Tapi bukan di telaga. Dan pemaknaannya pun jadi berbeda.
“Mukmin yang satu”, kata Sang Nabi, “Adalah cermin bagi
mukmin yang lain.”
Bercerminlah, tapi bukan untuk takjub pada bayang-bayang
seperti Narcissus, atau telaganya. Menjadikan sesama peyakin sebagai cermin
berarti melihat dengan seksama. Lalu saat kita menemukan hal-hal yang tak
terkenan di hati dalam bayangan itu, kita tahu bahwa yang harus kita benahi
bukanlah sang bayang-bayang. Kita tahu, yang harus dibenahi adalah diri kita
yang sedang mengaca. Yang harus diperbaiki bukan sesama yang kita temukan
celanya, melainkan pribadi kita yang sedang bercermin padanya.
Itu saja.
Selamat datang dalam dekapan ukhuwah. Aku mencintai kalian
karena Allah.[]
________
source : Dua Telaga {Prolog untuk Dalam Dekapan Ukhuwah}
http://salimafillah.com/dua-telaga-prolog-untuk-dalam-dekapan-ukhuwah/
"Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji."
*Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan