Sedang Allah pun Berpuisi

Refleksi Sosiologi
Ketika Alam Berpuisi, Diiringi syahdunya lantunan Ayat suci.Kebenamkan mataku dalam sunyi, lalu bertanya pada hati. Apakah Aku sudah siap untuk mati?                                                                                                                                   “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”(QS. 4:78).


Puncak ilmu adalah filsafat, dan puncak seni adalah puisi. Begitu kira-kira pandangan banyak orang. Orang yang tidak bisa menikmati puisi boleh dibilang tidak “lengkap” sebagai manusia. Orang yang tidak dapat menikmati puisi tampaknya akan sulit disentuh hatinya. Padahal hati ini adalah salah tiga alat kelengkapan diri selain akal dan syahwat. Tidak semua persoalan hidup dapat dipecahkan lewat akal dan rasionalitas, karena tubuh seseorang terdiri atas jasmani dan rohani.

Jangankan “makanan” rohani, sedangkan untuk kebutuhan jasmaniah saja tidak setiap orang memiliki kecerdasan yang sama dalam memilih makanan yang sehat dan enak, serta dalam takaran yang pas. Ada orang yang tidak peduli kalau tiap hari nekad memakan daging babi, atau makan jerohan — misalnya — karena ia berpandangan: “hidup itu sekali, maka harus dinikmati”.

Demikian rohani harus diberi “gizi” yang memadai agar keseimbangan hidup itu terjaga. Puisi adalah salah satu makanan rohani yang berdampak terhadap kesehatan jasmani. Hanya orang yang sudah sublim dan memiliki endapan rohani tertentu yang sanggup membuat puisi dengan “takaran” tertentu yang (juga) dapat menggugah kesadaran rohani seseorang. Karena puisi dibuat dengan takaran rohani tertentu, maka hanya orang yang sudah siap rohaninya saja yang dapat disentuh hatinya.

Saya sering iseng-iseng mengamati, seorang pemimpin atau ketua Organisasi yang tidak memiliki jiwa seni, tampaknya ia akan sulit mengekspresikan jiwa kepemimpinannya, sekalipun ia cerdas secara keilmuan dunia. Ia akan sulit menggetarkan pengikut atau anggotanya untuk diajak membangun Organisasi — misalnya. Seorang Pemimpin organisasi yang tidak memiliki jiwa seni, juga akan “wagu”, tidak saja ketika memberi sambutan, tapi juga “wagu” produk-produk kebijakannya. Ia bagai (maaf) robot yang cerdas, namun tidak memiliki kecerdasan hati, sehingga kurang indah ketika di ajak berdilaktik. Melalui puisi tampaknya akan lebih mudah menyentuh hati ini, karena makanan hati bukannya rasionalitas, namun kelembutan dan keindahan. Puisi adalah sublimasi dari keindahan. Sekasar apapun watak seseorang, jika ia sudah tersentuh hatinya maka ia akan takluk, bahkan menangis.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka tidak mau berguru kepada Tuhan ihwal kepemimpinan? Kurang apa kekuasaan Allah? Mengapa Allah tidak otoriter saja, dan mengapa harus berfirman dengan nada puitis? Mengapa tidak saja langsung mengancam: “aku larang keras manusia berzina”, tapi mengapa harus dengan nada mesra “jangan dekati zina”, misalnya? Bukankah Allah memiliki kebebasan mutlak untuk memerintahkan apa saja? Bukankah Allah juga bisa otoriter sehingga yang tidak taat langsung saja dihukum di dunia? Sekali lagi Allah tidak melakukan-Nya. Allah memilih untuk bermesra-mesraan dengan makhluk ciptaan-Nya, dengan jalan “berpuisi-ria” dengan segala firman-Nya.
Karenanya, Allah SWT lebih suka memperkenalkan watak-Nya dengan bahasa keindahan. 

Lihat dan bacalah maka akan jelas bahwa firman-Nya juga “dikemas” dalam bentuk puisi. Al Quran adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga gabungan dengan baik dan benar. Mengapa Allah harus berpuisi? Jawabnya barangkali Allah akan bertindak “konsekuen” setelah menciptakan unsur manusia yang terdiri jasmani dan rohani, dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah mengajari bahwa untuk mengajak kepada kebaikan harus melalui keindahan. Barang yang baik, jika tidak disampaikan demgan keindahan, maka tidak akan menyentuh hati. Sebaliknya barang yang indah jika tidak disampaikan dengan baik dan benar maka itu tidak akan sampai kepada tujuannya.

Allah sangat “paham” berapa “takaran” yang pas, dimana ayat-ayat itu diturunkan. Allah juga paham bagaimana bentuk kemesraan-Nya jika berhadapan dengan model watak kaum tertentu. Allah juga sangat paham kapan dan di mana ayat-ayat diturunkan, sehingga ayat-ayat itu harus bernada puitis dan pendek, serta di lain pihak juga sangat tahu kapan kemesraaan-Nya harus disampaikan dengan nada-nada “ancaman”, misalnya? Kalau Allah saja “maha seniman”, mengapa manusia tidak meniru ajaran-Nya ini? Mengapa dalam memanajemen organisasi (misalnya), malahan amburadul, sudah caranya disampaikan tidak saja buruk, namun juga tidak benar plus tidak indah.

Betapa meruginya manusia yang tidak bisa mengekspresikan kekhalifahannya dalam proporsi keseimbangan: baik, benar, dan indah, serta tidak tahu bagaimana kapan harus menggunakan akal, kapan harus hati, dan kapan memadukan keduanya untuk menekan syahwatnya (baca: nafsu dalam berbagai bidang kehidupan).

Puisi adalah sublimasi dari keindahan. Al Quran adalah “puisi” yang tidak saja maha indah tingkat seni bahasanya, namun juga gabungan dengan baik dan benar. Oleh karenanya Al Quran itu “Mulia”, karena berada dalam proporsi kese’imbangan : baik, benar, dan indah.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentar lah dengan sopan