Oleh : Abdi Ukmi 2013
Liburan
semester genap telah usai. Suka tidak suka, mau tidak mau, saya harus kembali
melanjutkan jalan cinta pejuang merajut peradaban. Harus kembali Mencoba
meneliti, menggali, dan bersimulasi di dunia akademisi (kampus) ihwal penentuan konsep kehidupan yang paling mungkin
di terapkan meniti jalan kembali sang hamba kepada Rabb-nya. Inna lillahi wa
inailaihi raji’un.
Liburan
yang saya lalui kali ini bisa di katakan agak berbeda dengan yang sebelum-belumnya.
Beberapa kali saya di perjalankan
Allah untuk menghadiri majelis cinta Rasulullah yang ada di daerah saya Nganjuk.
Bak tumbuhan di musim semi, sekarang tanah kelahiran saya ini sedang mengalami gandrung (red : gemar) bershalawat.
Bermunculan-lah majelis shalawat, Majelis dzikir yang jamaah-nya tidak bisa di
bilang sedikit. Para jamaah majlis dzikir dan Shalawat Al-Bahri dimana saya berkesempatan hadir ini, mereka berduyun-duyun
datang dari segala penjuru termasuk kabupaten tetangga seperti dari Kediri,
Blitar, Trenggalek, Tulungagung, Pasuruan, Jombang, Madiun, Bojonegoro, dst.
Berkumpul dan berhimpun pada satu titik Pertemuan Agung. Pertemuan di majlis
suci para Pecinta Rasulullah.
Cinta hanya di bibir saja...
Pada saat yang sama jiwa saya langsung ngumboro (red : menjelajah) jauh di kedalaman batin ketika saya masih kecil. Di dalam pengembaraan itu Saya menyadari satu hal yang rasanya gak berbeda setelah beranjak dewasa. Cinta saya kepada Kanjeng Nabi Muhammad masih lebih besar ketika saya kecil ketimbang setelah beasr. Dunia anak-anak saya kala itu tidak bisa dikatakan kurang bahagia, meskipun waktu itu belum tersentuh dengan tawaran dunia macam dunia anak-anak kecil zaman sekarang.
Ibu Bapak dan para guru ngaji yang ada di dusun saya kala itu mengajarkan untuk mecintai Kanjeng Nabi, mengisahkan perjuangan-perjuangan beliau, jasa-jasa, serta akhlak-akhlak terpuji beliau. Semua itu bisa dengan mudah menumbuhkan perasaan cinta dalam diri saya yang masih belum begitu terbuai dengan pesona dunia. Saya pun ber-konklusi melihat sosok Nabi Muhammad yang agung, penuh kasih, lembut, yang begitu mengagumkan jauh di kedalam batin saya si anak kecil lugu dan polos kala itu.
Setelah saya beranjak dewasa, saya memahami banyak hal yang mengagumkan dan meng-goda di dunia yang fana ini. Betapa berkilauannya Kekayaan dunia, betapa menggiurkanya gadis yang menjadi pujaan jiwa, dan betapa enaknya kesenangan dunia hedonis dewasa ini. Entah disadari atau tidak semuanya tadi lambat laun mengalihkan saya dari cinta yang mendalam kepada baginda Nabi. Mungkin dalam pengakuan hidup sehari-hari, saya tetap menyatakan cinta kepada Rasul yang utama. Tapi benarkah demikian adanya? Bukankah saya lebih bersemangat ketika melakukan kegiatan yang berpotensial menghasilkan Ajrun (red : Upah) daripada mengerjakan kegiatan yang bisa membangkitkan senyum kanjeng Nabi. Saya lebih bergembira dan bersemangat ketika bertukar kata dengan sang pujaan hati daripada mendengarkan lagu cinta kepada Nabi. Saya lebih senang menikmati hiburan-hiburan yang ditawarkan televisi, komputer, PS, dst .. ketimbang mencari penghiburan dalam meneladani tindak laku Nabi yang mulia.
Pada saat yang sama jiwa saya langsung ngumboro (red : menjelajah) jauh di kedalaman batin ketika saya masih kecil. Di dalam pengembaraan itu Saya menyadari satu hal yang rasanya gak berbeda setelah beranjak dewasa. Cinta saya kepada Kanjeng Nabi Muhammad masih lebih besar ketika saya kecil ketimbang setelah beasr. Dunia anak-anak saya kala itu tidak bisa dikatakan kurang bahagia, meskipun waktu itu belum tersentuh dengan tawaran dunia macam dunia anak-anak kecil zaman sekarang.
Ibu Bapak dan para guru ngaji yang ada di dusun saya kala itu mengajarkan untuk mecintai Kanjeng Nabi, mengisahkan perjuangan-perjuangan beliau, jasa-jasa, serta akhlak-akhlak terpuji beliau. Semua itu bisa dengan mudah menumbuhkan perasaan cinta dalam diri saya yang masih belum begitu terbuai dengan pesona dunia. Saya pun ber-konklusi melihat sosok Nabi Muhammad yang agung, penuh kasih, lembut, yang begitu mengagumkan jauh di kedalam batin saya si anak kecil lugu dan polos kala itu.
Setelah saya beranjak dewasa, saya memahami banyak hal yang mengagumkan dan meng-goda di dunia yang fana ini. Betapa berkilauannya Kekayaan dunia, betapa menggiurkanya gadis yang menjadi pujaan jiwa, dan betapa enaknya kesenangan dunia hedonis dewasa ini. Entah disadari atau tidak semuanya tadi lambat laun mengalihkan saya dari cinta yang mendalam kepada baginda Nabi. Mungkin dalam pengakuan hidup sehari-hari, saya tetap menyatakan cinta kepada Rasul yang utama. Tapi benarkah demikian adanya? Bukankah saya lebih bersemangat ketika melakukan kegiatan yang berpotensial menghasilkan Ajrun (red : Upah) daripada mengerjakan kegiatan yang bisa membangkitkan senyum kanjeng Nabi. Saya lebih bergembira dan bersemangat ketika bertukar kata dengan sang pujaan hati daripada mendengarkan lagu cinta kepada Nabi. Saya lebih senang menikmati hiburan-hiburan yang ditawarkan televisi, komputer, PS, dst .. ketimbang mencari penghiburan dalam meneladani tindak laku Nabi yang mulia.
Demi
cinta kepada Rasulullah, gunung akan aku
daki, lautan akan aku sebrangi. Tetapi hanya karena hujan gerimis turun,
saya sudah absen dengan berdalih dan ber-alasan ini-itu untuk enggan menghadiri majelis pernyataan cinta kepada
Kanjeng Nabi. Kenyataanya, cinta saya kepada Nabi ini adalah cinta yang “indah
kabar” namun jauh dari rupa. Hanya sebatas kata, dan hanya sebentuk pengkuan (maaf) dusta.
Cinta yang Ethok-ethok....
Dan ingatkan kita pada kisah jalinan kasih asmara di perahu terbesar pada masanya yang bernama Titanic itu? Pejuangan Jack dan Rose dalam menggapai cinta sejati akan terus di kenang oleh manusia. Tinta penulis tak pernah kering menggoresakan duka lara mereka, mata kamera tak letih-letihnya mengabarkan remuk redam hati Rose Dowson mengenang sang penyelamat jiwa raganya Jack kekasihnya itu.
Kisah di kapal termasyhur Titanic ini bukanlah kisah yang berakhir seperti buku-buku cerita dan dongeng: akhirnya mereka pun bahagia untuk selama-lamanya. Bukan, kisah mereka berdua adalah kisah duka dan air mata. Di akhir kisah Jack ter-larung di lautan sebagai Hati Samudra. Jack mati-matian menolong si pujaan hati agar bisa hidup menerusakan keberlanjutan marga mereka. Dia rela menahan dinginnya air lautan yang menusuk tulang, memastikan sang pujaan hati punya harapan untuk mengarungi kehidupan meski hampir sulit untuk meraihnya. Disaat harapan itu datang, dan Tuhan memberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, justru pada saat itu Rose terguncang batin-nya. Lelaki yang mengasih’i nya, segala macam upaya di lakukanya untuk memastikan kehidupan baginya, Sampai mempertaruhkan Nyawa-nya sendiri. Dan benar saja, Jack sudah kehilangan nafasnya ketika bantuan itu datang. Meskipun pada akhirnya Rose memilih untuk melanjutkan kehidupanya, saya membayangkan Betapa Remuk dan kalutnya hati si Rose ini menghadapi keadaan yang dilematis seperti ini.
Saya selalu kagum tiada terkira kala melihat (meskipun yang kesekian kalinya) kisah perjuangan manusia dalam menanggung lara dan nestapa atas nama cinta. Dibandingkan dengan kisah Titanic, cinta kita kepada Rasul itu adalah cinta yang masih ethok-ethok (red : pura-pura). Beranikah kita memperjuangkan hingga titik darah penghabisan, agar nur Muhammad selalu berada di dalam hati umat manusia yang lain? Sanggupkah kita memilih Kematian demi menyebarkan teladan yang beliau hamparkan sebagaimana yang kita sebut sistem Rahmatan lil Alamin itu.
Terima kasih Majlis Dzikir dan Shalawat Al-Bahri, Panjenengan semua telah menyampaikan salam saya dan Abdi Ukmi semuanya kepada Kanjeng Nabi. Mungkin cinta saya dan rekan-rekan disini belum se-besar cinta Jack kepada kekasihnya Rose, belum se-dahsyat Qais dan Laila, belum se-megah bangunan Taj Mahal yang menjadi ungkapan cinta kasih Syah Jahan kepada istrinya, Mumtaz.
Namun setidaknya, saya dan rekan-rekan Ukmi telah melangkahkan kaki menuju jalan panjang menggapai cintamu, ya Rasul. Ulurkan lenganmu ya Nabi Allah. Bimbinglah kami semua dalam perjalanan cinta ini. Faja’aha Rasulu min anfusikum ‘azizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum biilmu’miniina raufurrahiim.[ ]
Dan ingatkan kita pada kisah jalinan kasih asmara di perahu terbesar pada masanya yang bernama Titanic itu? Pejuangan Jack dan Rose dalam menggapai cinta sejati akan terus di kenang oleh manusia. Tinta penulis tak pernah kering menggoresakan duka lara mereka, mata kamera tak letih-letihnya mengabarkan remuk redam hati Rose Dowson mengenang sang penyelamat jiwa raganya Jack kekasihnya itu.
Kisah di kapal termasyhur Titanic ini bukanlah kisah yang berakhir seperti buku-buku cerita dan dongeng: akhirnya mereka pun bahagia untuk selama-lamanya. Bukan, kisah mereka berdua adalah kisah duka dan air mata. Di akhir kisah Jack ter-larung di lautan sebagai Hati Samudra. Jack mati-matian menolong si pujaan hati agar bisa hidup menerusakan keberlanjutan marga mereka. Dia rela menahan dinginnya air lautan yang menusuk tulang, memastikan sang pujaan hati punya harapan untuk mengarungi kehidupan meski hampir sulit untuk meraihnya. Disaat harapan itu datang, dan Tuhan memberi kesempatan untuk melanjutkan hidup, justru pada saat itu Rose terguncang batin-nya. Lelaki yang mengasih’i nya, segala macam upaya di lakukanya untuk memastikan kehidupan baginya, Sampai mempertaruhkan Nyawa-nya sendiri. Dan benar saja, Jack sudah kehilangan nafasnya ketika bantuan itu datang. Meskipun pada akhirnya Rose memilih untuk melanjutkan kehidupanya, saya membayangkan Betapa Remuk dan kalutnya hati si Rose ini menghadapi keadaan yang dilematis seperti ini.
Saya selalu kagum tiada terkira kala melihat (meskipun yang kesekian kalinya) kisah perjuangan manusia dalam menanggung lara dan nestapa atas nama cinta. Dibandingkan dengan kisah Titanic, cinta kita kepada Rasul itu adalah cinta yang masih ethok-ethok (red : pura-pura). Beranikah kita memperjuangkan hingga titik darah penghabisan, agar nur Muhammad selalu berada di dalam hati umat manusia yang lain? Sanggupkah kita memilih Kematian demi menyebarkan teladan yang beliau hamparkan sebagaimana yang kita sebut sistem Rahmatan lil Alamin itu.
Terima kasih Majlis Dzikir dan Shalawat Al-Bahri, Panjenengan semua telah menyampaikan salam saya dan Abdi Ukmi semuanya kepada Kanjeng Nabi. Mungkin cinta saya dan rekan-rekan disini belum se-besar cinta Jack kepada kekasihnya Rose, belum se-dahsyat Qais dan Laila, belum se-megah bangunan Taj Mahal yang menjadi ungkapan cinta kasih Syah Jahan kepada istrinya, Mumtaz.
Namun setidaknya, saya dan rekan-rekan Ukmi telah melangkahkan kaki menuju jalan panjang menggapai cintamu, ya Rasul. Ulurkan lenganmu ya Nabi Allah. Bimbinglah kami semua dalam perjalanan cinta ini. Faja’aha Rasulu min anfusikum ‘azizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum biilmu’miniina raufurrahiim.[ ]
Nganjuk, 12 agustus 2015.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan