Meng'elaborasi Hajatan akbar Pemilu Raya Universitas Merdeka Malang
Penguasa adalah kedudukan yang paling sulit dan paling keruh. Kezaliman menyelubunginya dari segala penjuru. Bila sang penguasa berlaku adil maka wajar ia selamat, dan bila ia keliru, keliru pula ia menelusuri jalan ke surga. Seorang yang hidup hina di dunia, lebih aman dari pada ia hidup mulia (dalam pandangan manusia). Dan siapa memilih dunia dengan mengabaikan akhirat, maka dia pasti dirayu oleh dunia dan dijerumuskan olehnya dan ketika itu ia tidak akan memperoleh sesuatu di akhirat”.
(Hadis Musnad Al-Firdaus)
Dalam beberapa buku yang di tulis oleh
Al-ghazali, menjadi pemimpin adalah hal yang paling menyeramkan. Tanggung jawab
yang berat, rawan tergelincir kegagahan dan menjadikan budak kekuasaan adalah salah
tiga dari sekian banyak akibat dari salah mengerti esensi kepemimpinan. Namun tetap saja kebanyakan manusia mudah tergoda
olehnya. Memang bisa saja seribu satu alasan dikemukakan sebagai dalih
pembenaran. Bisa karena merasa telah memperoleh panggilan dan amanah Allah,
bisa karena telah salat istikharah
dan lain sebagainya. Tetapi niat dan suara hati nuranilah yang dapat secara jujur menjawabnya. Apakah
itu ketetapan Allah, panggilan Allah, ataukah panggilan hawa nafsu atau godaan
setan.
Niat dan suara hati nurani yang mencerminkan datangnya amanah Allah, pasti
akan kelihatan dari jalan yang dilalui, cara, daya dan upaya yang digunakan
untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Sebaliknya pula niat, ambisi dan gelora
hawa nafsu akan terlihat dalam cara dan upaya meraih kekuasaan yang pada
umumnya menghalalkan segala cara, atau tidak peduli dibantu “setan belang” sekalipun.
Islam pada hemat kami telah mengajarkan, segala sesuatu mulailah dengan
niat yang tulus, semata-mata karena Allah. Atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Karena atas nama Allah yang
seperti itu, maka modal perjuangan, cara, daya, dana dan jalan yang dilalui-nya
pun wajib mengikuti kaidah-kaidah moral keagamaan, yakni halal dan thoyib,
serta penuh dengan pancaran kasih sayang kepada sesamanya. Pemimpin yang
memperoleh panggilan seperti ini, justru tidak memiliki ambisi kekuasan. Ia
selalu telah cukup puas dengan mengabdi dan melayani masyarakat, tanpa peduli
apapun imbalan yang diperolehnya.
Ada cara lain untuk melihat apakah seorang pemimpin merupakan pilihan
Allah. Kanjeng Nabi Muhammad bersabda: “Apabila
Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan
memperuntukkan baginya pendamping-pendamping yang jujur, yang bila ia lupa,
maka mereka akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka mereka akan
membantunya. Dan apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan
menyediakan baginya para pembantu yang jahat, yang bila ia lupa, maka mereka
tidak mengingatkannya, dan bila ia ingat maka mereka tidak membantunya”. (Hadis
Abu Daud)
Kalaulah Islam tidak mengijinkan umatnya memiliki ambisi menjadi pemimpin,
lalu bagaimana kita melakukan kaderisasi? Kyai kami menjawab taatlah selalu kepada Allah dan Rasulullah. Pasanglah niat baik
setiap saat. Berusahalah untuk selalu berbuat baik tanpa menghitung hasil dan
imbalan. Ikutilah tamsil kelaziman di dalam
suatu majelis atau jamaah. Bila waktu salat tiba, insya Allah akan ada saja
yang terpanggil tampil menjadi muazin mengumandangkan azan dan qomat. Demikian
pula akan selalu ada yang memperoleh amanah menjadi imam. Adalah kewajiban bagi
setiap muslim untuk senantiasa belajar menegakkan salat dengan baik. Adalah
kewajiban bagi setiap muslim untuk selalu belajar mengemban amanah, belajar
seni kepemimpinan.
Tetapi kini kita dihadapkan pada
pilihan untuk memilih pemimpin, yang pada hemat kami, tidak memberikan
kesempatan maksimal kepada munculnya calon-calon pemimpin alternatif. Beberapa teman di LDK –misalnya-- bahkan dengan enteng menasihati, kita pilih saja yang paling sedikit
kekurangannya. Sementara seorang kawan yang lain menasihati, sudahlah, pilih
saja yang terbaik dari apa yang ada. Sebab lebih baik ada pemimpin yang
memiliki kekurangan daripada tidak ada pemimpin
sama sekali.
Ironis sekali, kita memiliki ribuan masyarakat kampus, namun kenapa kita harus memilih yang paling sedikit kekurangannya atau
bahkan hanya yang terbaik dari semua yang buruk? Bukan memilih yang betul-betul
terbaik? Kenapa kita harus nrimo, pasrah, fatalistis? Kenapa kita tidak berani mengubah keadaan, membuat
suasana yang dapat mendorong munculnya putra-putra terbaik Universitas? Menjebol kejumudan para budak nafsu kekuasaan?
Beberapa kali kami coba ungkapkan keresahan ini kepada sahabat-sahabat kami yang bergelut
di per-politik-an “kampus”, ia pun menjawab: “Saya percaya, tapi bagaimana mene-rapkannya di alam
demokrasi sekarang ini? Kalau tidak ada Calon Pemimpin yang seperti itu, apa kita tidak menggunakan hak pilih alias Golput,
golongan putih? Lalu siapa yang menjamin keadaan bisa menjadi lebih baik?”
Masya Allah. Benarkah memilih untuk tidak
menggu-nakan hak pilih alias golput, berarti sama dengan kehilangan hak
mengelola sistem
kebajikan universitas? Sebegitu kejamkah sistem demokrasi
sekarang? Demokrasi yang tidak menghargai sama sekali hak warganya untuk
tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu? Jika ini yang terjadi, kami kuatir demokrasi kita nanti adalah demokrasi
yang diperalat, dibajak dan disandera.
Kanjeng Nabi mengajarkan agar kita melakukan uzlah
terbatas bilamana menghadapi keadaan kemasya-rakatan yang kita yakini sedang
membawa kita untuk tidak taat kepada Allah dan Rasulullah. Jika kita menemui zaman seperti itu maka turutilah perintah Beliau dan
marilah kita terima sepenuh hati nasihat-nasihat beliau. Hal ini juga telah ditegaskan oleh Al Ghazali dalam Minhajul
Abidin, dengan menyatakan jangan ragu-ragu lagi karena Rasulullah lebih
mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan untuk diri kita pada zaman yang kita
jalani. Menurut Al-Ghazali, kita jangan
sekali-sekali berkilah membuat alasan-alasan palsu dan menipu diri sendiri. Jika tidak, maka kita termasuk orang yang celaka yang tidak dimaafkan lagi.
Adapun sifat-sifat zaman itu sebagaimana diterangkan dalam hadis yang
masyhur dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata : “Di kala kami
berkumpul di hadapan Rasulullah Saw. dan diceritakan tentang adanya
godaan-godaan dan fitnah, maka Nabi bersabda: “Di mana kamu telah
melihat manusia merusak janjinya dan sedikit amanat. Dan mereka sudah menjadi
demikian. (Nabi kemudian memberi isyarat seraya memilinkan jari-jari
tangannya, sebagai isyarat campur aduk kebaikan dan kejahatan).
Aku bertanya : “Jika sudah demikian, kami harus bagaimana ya Rasulullah?”
Jawab Rasulullah : “Maka kamu harus menetap di rumah, kuasai lidahmu.
Ambillah apa yang kau ketahui baik, dan tinggalkan apa yang tidak engkau kenal.
Dan perbaiki khusus dirimu serta tinggalkan urusan umum.”
Bagaimana menjadi seorang pemilih yang paling arif, menyikapi Pemilihan Umum yang akan
berlangsung di kampus kita tercinta lusa nanti? Menurut hemat kami yang diperkenankan Allah melakukan sedikit kajian ihwal masalah ini, Ada dua kemungkinan pilihan. Pertama, jika
yakin secara sistem memang sudah salah, maka kita bisa istiqomah untuk tetap
tidak menggunakan hak pilih. Kedua, insya Allah kita gunakan hak pilih
dengan tidak memilih yang sudah jelas kemudaratannya. Kita pilih yang lebih
dapat memberikan kemaslahatan Masayarakat Kampus secara luas.
Namun, pilihan ini pun bukan himbauan apalagi "fatwa" yang harus mutlak di ikuti. Semua orang punya resonansi kebenaran masing-masing. Jauh diatas itu semua, mengembalikan Semuanya kepada Allah yang maha mengetahui itu adalah sebuah keniscayaan. Dan meminta keapada-Nya untuk selalu di bimbing dalam jalan yang lurus yaitu Sirathal mustaqim.
Namun, pilihan ini pun bukan himbauan apalagi "fatwa" yang harus mutlak di ikuti. Semua orang punya resonansi kebenaran masing-masing. Jauh diatas itu semua, mengembalikan Semuanya kepada Allah yang maha mengetahui itu adalah sebuah keniscayaan. Dan meminta keapada-Nya untuk selalu di bimbing dalam jalan yang lurus yaitu Sirathal mustaqim.
Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazh dzaalimiin.
Astaghfirullah al azhiim. Ya Allah ya Kariim. []
Posted by Team Cendekiawan UKMI
______________________
Di ambil dari buku "Mutiara Hikmah" B. Wibisono
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan