“Allah merupakan realitas absolut yang tak terhingga. Kalau Allah diibaratkan samudera tak terhingga, maka manusia hanyalah percikan dari Samudera Ilahi tersebut.”
A. Schimmel
Mystical Dimension of Islam
Ada satu cerita tentang sebuah kesalehan sosial. Ketika
berjalan- jalan keluar istana—Khalifah Harun Al Rasyid yang menyamar sebagai
orang biasa, menjumpai seorang tua bungkuk dan sudah beruban
rambutnya, sedang menanam pohon palem. Ketika ditanya berapa lama
pohon itu dapat tumbuh, orang tua yang bungkuk tadi menjawab kalem:
“mungkin sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan seratus
tahun!”. Mendengar jawaban ini sang Khalifah kaget: “Bagaimana
anda dapat menikmati buahnya ketika pohon ini mulai tumbuh besar
sedangkan engkau sudah meninggal?”.
Namun orang tua ini tetap kalem dan menjawab: “Benar,
mungkinsaya sudah meninggal, tapi saya akan makan buah dari kesabaran yang saya
tanam. Demikian pula anak cucu atau masyarakat di masa mendatang akan ikut
menikmatinya pula. Diriku tidak penting, apakah masih hidup atau tidak,
sebab hidup adalah sebuah langkah untuk beribadah”. Demi mendengar
jawaban ini sang Khalifah kagum dan sertamerta memberinya orang tua itu
sekeping uang emas. Orang tua tadi langsung berkata: “Saya
berterima kasih kepada Allah, karena buah yang baru
saya tanam menghasilkan buah dengan segera!”. Demi mendengar pujian ini
sang Khalifah memberinya lagi.
Orang tua tadi juga menjawab: “Biasanya pohon
ini berbuah sekali dalam setahun, namun ini berbuah
dua kali”. Mendengar ucapan syukur ini sang Khalifah mendekati
pengawalnya serta menarik tangannya sambil berkata: “Mari segera meninggalkan
kebun ini sebelum uang kita habis.
Kisah ini menunjukkan kesalehan sosial seseorang yang tidak
disertai pamrih, karena baginya “hidup adalah beramal”. Orang tua ini
berbeda dengan politisi yang setiap hari menghabiskan uang puluhan
milyar hanya untuk berkata “hidup adalah perbuatan”. Kalau politisi ini
berpamrih, maka bagi orang tua tadi, bekerja bukan mencari uang, namun mencari
keridlaan Alloh. Sedangkan uang hanyalah “resiko” yang dia terima setelah
bekerja. Jadi “rumusnya” tidak bisa dibalik.
Filsafat Jawa mengatakan “urip mung mampir ngombe”. Bagi
sebagian orang ungkapan ini terasa biasa saja, namun setelah direnungkan,
inilah barangkali “puncak kesufian Jawa”. Budaya Jawa yang kini hanya
melahirkan sempalan-sempalan kecil, karena sudah lewat puncaknya.
Dalam bidang kesenian, karya adiluhung tembang Macapat dan
musik gamelan, kini belum terlampaui. Paling hanya sempalan kecil semacam
lahirnya campur sari. Demikian pula dalam “kesufian” lainnya.Urip mung mampir
ngombe membawa satu dimensi religiusitas, bahwa orang Jawa itu mestinya
akan selalu “semeleh” atau dalam bahasa lainnya tawakal, karena
mereka tidak sempat “nikah” dengan dunia. Jangankan nikah, “pacaran” saja
tidak, karena ia hanya mampir untuk menuju kampung sejatinya kelak, yakni
kampung akherat.
Ajaran urip mung mampir ngombe adalah ketika
dunia ada “di hadapannya” kita tidak serta merta “mengenyamnya”. Kalau ajaran
ini berhasil diserap umat manusia, maka ia akan menuju posisi pembebasan dari
sisi-sisi keduniawian dan dilepaskan di hadapan Allah. Ini adalah
proses “dematerialisasi” atau “deindividualisasi”, karena yang penting
adalah Allah. Dunia dan isinya hanyalah “sarana” atau “metoda” dan
dimanajemen sepenuhnya untuk menuju Allah. Dengan kata lain,
produk-produk duniawi tetap penting bahkan dianjurkan untuk dicari mati-matian
secara halal dan toyib, namun “harus dimanajemen” untuk menuju Allah SWT!
Dengan kata lain, manusia yang berhasil mengamalkan ajaran urip mung mampir
ngombe adalah manusia tidak anti materi atau duniawi, namun
mentransformasikan apa yang ia miliki (harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga,
pikiran, dst) untuk menjadi “nur” atau cahaya yang bermakna akherat.
"Sebagaimana filsafat jawa yang berbunyi "Urip iku Urup" (Hidup itu Menyala), maka prinsip hidup sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain."
“ N H J K C “
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan