“Mitos antara Kebahagiaan dan Materialisme”

       Sekitar seribu tahun yang lalu para musafir, wisatawan, pengembara atau siapa saja yang melakukan perjalanan untuk suatu tujuan, banyak yang hanya berjalan kaki. Meskipun toh memakan waktu bertahun-tahun mereka tetap melakukanya, melengkapi dirinya dengan perbekalan yang cukup, uang yang berlaku pada waktu itu, atau berbekal tawakal kepada Allah. Dalam perjalanan pun maut selalu mengintai, seperti melewati padang pasir yang luas dan membakar, binatang buas, bahkan perampok bengis yang kejam siap untuk membunuh tanpa ampun. Maka apabila ia selamat dan sampai di tempat tujuan rasanya seolah-olah ia “baru dilahirkan kembali.” Dan itu adalah kegembiraan yang tiada tara. 

       Orang kaya pada zaman itu tak jauh berbeda dengan orang miskin, kecuali dalam hal kuda-kuda mewah, yang memang menjadi bagaikan mobil mewah yang dapat menunjang perjalanan bertahun-tahun mnjadi beberapa bulan saja. Dan masa sekarang bisa ditempuh secara kilat. 

        Sekarang kita dapat menempuh jarak antara Jakarta-Jeddah hanya dalam waktu beberapa jam saja dengan pesawat udara. Sepanjang perjalanan, kita kadang-kadang merasa kejenuhan, kebosanan dan kelambatan, sehingga kita sebentar-sebentar melihat jam. Setelah tiba di tempat tujuan dengan selamat mulailah kita mengomel, mencaci, atau bahkan mengutuk karena terlambat setengah jam. Bisa di bayangkan, mungkin suatu saat dimana kita berpergian dengan roket menuju Mars atau planet lain, kita akan menjadi lebih bosan dan tergesa-gesa serta akan berkata, “ Apa ini, roket celaka, tak mngertikah mereka mengetahui nilai waktu dalam perjalan roket ini?” 

       Kemampuan akan bertambah, tetapi kebhagaian akan berkurang. Setiap kali kecepatan bertambah, maka bertambah pula ketergesaan. Setiap kali kemewahan bertambah manusia semakin suka mengeluh. Rezeki yang disediakan oleh Allah di bumi dan di langit cukup bagi manusia pandai mengolah dan memanfaatkan dengan baik dan adil, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keinginan seoarang yang serakah. Dan sepanjang umur manusia tidak cukup untuk memenuhi keserakahanya. Persis seperti cerita orang kaya, semakin bertambah kekayaanya justru semakin bertambah pula keserakahanya.

         Budaya materialisme inilah yang menghasilkan manusia-manusia “galau” di zaman ini. Setiap kali hasil bertambah, manusia pun semakin membutuhkannya dan menghendaki tambahan yang lebih banyak lagi darinya sehingga ia semakin sengsara. Demikian halnya karena kebahagiaan tempatnya di “hati”, bukan materilastis manusia itu sendiri. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh bertambahnya atau berkembangnya kemampuan-kemampuan materialistis semata. Kebahagiaan tumbuh dari hati nurani sendiri. Dan juga dari hubungan diri manusia dengan Allah Swt. Yang didasrakan atas “perasaan Keagamaan” dan bukan pada perasaan materialistis. Ia timbul dari perasaan manusia dari lubuk hati yang paling dalam bahwa ia tidak sendiri dan bahwa Allah selalu bersamanya. Sedangkan pemeliharaan Allah meliputinya serta Ilham kebaikan menolongnya sehingga ia pun “melaksankan seluruh Kewajibanya.” 
       Oleh Karena itu mungkin saja seorang milyuner yang memiliki kapal, pesawat terbang, berpuluh perusahaan dan uang jutaan dollar melakukan bunuh diri, sementara kita mendapati seorang Ahli ibadah yang hidup bersahaja, berseri-seri wajahnya dengan ketenangan batin yang tak terbatas. Serta selalu menolong orang lain dengan kecintaan dan kebahagiaan, karena ia beriman bahwa hidup mempunyai makna dan hikmah.

      Kehidupan tidak dijadikan oleh Allah dengan sia-sia, Akan tetapi diciptakan dengan tujuan tertentu.

--anonimous--
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentar lah dengan sopan