"Jika saya dihadapkan pada dua keadaan harus "meninggalkan" atau "di tinggalkan" dan harus memilih, saya akan memilih "meninggalkan". Bukanya egosentris memikirkan diri sendiri atau apa, hanya lebih kerana takut membuat orang yang saya "tinggal" nantinya menyesal melihat saya mati oleh perihnya luka karena "ditinggalkan".
--n h j k c--
Saat membaca pesan sms yang
mengabarkan bahwa, ibu KaPut (ukhti Veraliswati) “terpaksa” harus meninggalkan
UKMI --pindah kampus ke Probolinggo— untuk saat itu, saya langsung bereaksi, maksud
saya jiwa dan batin saya. Tentu ini bukan untuk “caper”, lantas utang pulsa
yang sudah sekian lama itu di “ikhlas” kan (kog enak e he he). Tentu bukan juga
yang jika saya “caperin” lantas beliau langsung membawakan banyak roti
“special” dari Proling sana. Dan secara “fisik” pun saya jarang ketemu di Ukmi.
Hanya saya ndak yakin, 10 tahun bahkan 20 tahun kedepan Allah meng”hadirkan”
Abdi Ukmi yang seperti itu. Seorang hamba yang sangat tunduk dengan Allah dan
Rosul-Nya. Seorang hamba yang sangat “tabah” dan tegak dalam meneladankan kebaikan.
Hamba yang sangat “senang” menciptakan kebahagian sekelilingnya. Hamba yang
tidak “patheken” –bahasa jawa—jika tidak di”perhitungkan atau dihargai
siapapun, sebab baginya Allah tidak marah kepadanya. Hamba yang mengorbankan
apa saja yang dimiliki bagi sesamanya karena-Nya. Dan juga Hamba yang sangat
patuh kepada Rosulullah. Karena itu saya juga ndak heran kalau misalnya di Ikhwan untuk saat ini terlihat "Sepi" dalam hal kegiatan, di bandingkan Akhwat. Mungkin belum Ada yang memposisikan diri dan berkorban banyak seperti halnya beliau.
Ingat
Rosulullah, saya juga teringat dengan teman saya yang “abangan” seperti saya
ini, pertanyaan muncul saat marak penggambaran karikatur nabi yang “Agung” itu.
Dengan nada “nyinyir” dia bertanya, kenapa sih wajah Rosulullah itu dilarang ?
orang muslim kog sebegitu tul*l nya mereka sampai marah sesedemikian rupa? Dan
sederet pertanyaan bernada nyinyir lain.
Terhadap
teman sesama mahasiswa seperti ini, dan kebetulan juga kuliah di fak. Teknik
saya mencoba menjawab dengan se “ilmiah” mungkin. Karena saya rasa ndak akan
“cocok” jika menjawabnya dengan mencomot “dalil-dalil” tertentu (padahal ngeles
karena ndak hafal he he). Saya tanya dia apa yang menyebabkan data bisa di
sebut Valid dan Reliable? Valid artinya dapat mengukur apa yang harus di ukur
dan reliable artinya alat ukur yang di gunakan adalah tepat tanpa terpengaruh
apapun.
Tentang “Validitas” dan
“Reabilitas” sosok Rosulullah, siapakah
yang “benar-benar” sudah mengabadikan foto beliau? Adakah yang tahu persis
lekuk wajah Beliau? Jika tidak, kenapa kog “berani-beraninya” mernerka-nerka
sesuatu yang hanya malah akan menjadi
Pemicu kericuhan di kalangan muslim sendiri. Dan lebih jauh lagi saya
mengatakan kepadanya, seandainya saya ini “nekat” gambar bapak sampean padahal
saya belum pernah sekalipun melihat bapak sampean, dan Yang saya lakukan hanyalah menerka-nerkanya,
apakah sampean Terima? Apalagi kalau saya coba membagus-baguskan “gambaran”
saya itu katakanlah seperti “David beckham”, apakah sampean senang? Terlebih
karena sampai saya sensi gara-gara ini misalnya, terus gambar nya agak saya
bikin ngawur dan jadinya seperti Tukul gitu, apa sampean ndak akan marah?.
Setelah mendengar rentetan penjelasan
yang seperti itu, teman saya itu terdiam. entah karena mengerti, bahkan
terkesima (GR banget he he) atau sebab yang lain, yang saya tahu dia sudah ndak
tanya yang “aneh-aneh” seperti itu lagi.
Setelah
kejadian itu saya merenungkan, apa sih hal yang bisa membuat saya repot-repot
misalnya “meladeni” orang seperti itu? Apa untung nya gitu? Terlepas dari
kewajiban saya yang berposisi sebagai “abdi” ukmi yang setidaknya LDK
nya Unmer. Jawaban dari itu semua, alhamdulilah saya dapatkan setelah
“berdiskusi” kecil-kecilan dengan Akh. Andy juga Ukh. Vera bahwa mungkin
sesuatu yang memang mengaharuskan saya seperti itu ialah karena saya “sayang”
pada orang itu. Saya ndak sampai hati (so Sweet he he) bila membiarkan dia
dibenci sama orang misalnya gara-gara hal yang sangat sepele ini. Dan
alhamdulilah juga, sekarang malah dia sering mengajak diskusi tentang hal
terkait keagamaan, meskipun sebenarmya dia apalagi saya sendiri masih
“meraba-meraba” tentang hal itu. Namun karena teringat kata-kata seorang Alim
“Hasan Al-basri” yang mengharuskan kita “menyampaikan” ihwal kebenaran sekecil
apapun agar akan terjaga denyut peradaban kemuliaan “Islam” tentunya dengan
cara “baik” dan “Indah” agar setidaknya bisa saling mengingatkan.
Dari
uraian yang agak ruwet di atas (agak gimana, ruwet banget kog he he) ada dua
hal yang ingin saya utarakan. Pertama, saya dan mungkin semua “abdi ukmi” yang
lain sangat bersyukur tentunya, karena Bu KaPut kita yang bernama “Veraliswati”
itu, beliau masih diperkenankan “Allah” menenamani kita semua sampai akhir
hayat.... eh bukan, sampai beliau yudisium kelak(ngawur he he). Kedua, dengan
melihat dua peristiwa diatas kalau boleh bersaran, sepertinya UKMI harus
nyedia’in waktu “extra” terkusus untuk “ta’arub” satu sama lain. Bukan yang
aneh-aneh seperti “Ta’arub”nya Akhi Tholib itu (semoga orang e ndak baca he
he), hanya untuk mendekatkan “jiwa” serta menyamakan “pandangan” ihwal realitas
dari masing-masing Pribadi yang sesungguhnya dengan jalan “rembug” informal
–artinya bukan membahas UKMI—bisa tentang
“apapun” (masalah terkini, curhat, minta saran, menanyakan kepada
sesamanya, dst....). Tentu untuk aturan dan batas “syar’inya” harus di sepakati
dulu dan di”ijinkan Pembina terlebih “Allah”.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar lah dengan sopan